Bicara tentang kesabaran, pasti itu bukanlah hal yang mudah. Saat hati dan pikiranmu ditarik ulur, ingin marah namun tak bisa, sulit rasanya, dan disitulah kita harus belajar bersabar. Mencoba mengikhlaskan. Sekuat mungkin bertarung melawan ego yang kita miliki. Seperti yang Allah SWT pernah kumandangkan dalam salah satu ayat Al-Qur'annya:
"Hai orang-orang yang beriman. Bersabarlah kamu, dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiaga-siaga (diperbatasan negrimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung." Q.S Al-Imran:200
Seperti yang sudah dikatakan disitu, bersabarlah. Sebagai umat yang beriman, kita harus kuat. Walau rasanya sangat sulit, rasanya bagai dirimu tak mampu lagi untuk bernafas, saking banyaknya oksigen yang telah kau keluarkan dari paru-parumu dan saking seringnya kau menahan beban dalam jantungmu.
Ada fase dimana tak semua hal bisa kita miliki. Karena memang sudah mutlaknya seperti itu. Aku pun, terkadang harus dengan tabah menjalani hari, sampai sekarang pun aku masih belajar ikhlas, karena hati ini belum lapang, masih ada butiran kenangan yang menghantui. Siraman ego yang membasuhi kalbuku. Jiwa ini terbakar karena terlalu dipaksakan.
Hidup memang tak selalu untuk bahagia, tapi bukan berarti kita tak boleh tersenyum. Tertawalah selagi kau bisa, walau pada akhirnya akan ada tangis yang menemani. Saat aku sakit hati, kau tau apa yang ku lakukan? Menangis lalu tertawa sendiri. Meratapi nasibnya anak kecil bodoh ini. Buat apa aku menangis? Tentu agar hati ini lapang. Mau bicara dengan seribu orang pun, akan sulit jika kau adalah korban patah hati itu. Mereka bisa berbicara, memberimu nasihat, memelukmu, namun tak akan ada yang bisa mengobati rasa sakit itu. Karena, hanya diri kita sendiri lah yang bisa. Berdiri... Bangun.... Jatuh.... Merangkak....Tergeletak... Dan pada akhirnya kau akan mencoba untuk bangkit lagi. Memang begitulah fase kehidupan.
Aku sendiri, masih belajar sabar. Rasanya lebih sulit dari mengerjakan soal Matematika yang sejatinya perlu kesabaran juga. Semua temanku, memintaku jangan terlalu sering menangis. Tapi, ayolah, selain menangis, apa ada yang bisa aku lakukan? Menangis itu tak lain dan tak bukan hanya salah satu bentuk dari terapi yang sedang aku jalani. Tak setiap hari juga aku menangis, aku juga bingung mengapa hati ini begitu lembut bahkan kapas pun masih perlu tenaga untuk merobeknya, namun hati ini lebih halus lagi. Aku belajar menyibukkan diri, namun seperti yang temanku pernah bilang, tak ada gunanya. Sadarkah? Justru menyibukkan diri sendiri itu malah membuatnya semakin runyam. Mencoba membohongi diri sendiri, pura-pura lupa yang nyatanya tak mungkin untuk aku melupakannya. Tapi aku sadar, aku tak sendirian dan itu membuatku bangkit. Aku punya Allah. Tuhan dan pencipta semesta Alam. Dekatkan diri pada yang Maha Kuasa, dan semoga saja semua usaha akan terbalas.
Rindu. Rasanya bagaimana ya? Seperti kau ingin berteriak tapi lehermu dicekek oleh dirimu sendiri. Meminta untuk tak mengungkapkan, tapi mata tak bisa bohong saat menatapnya. Telinga tak bisa tuli saat mendengar kabar tentangnya. Namun mulut mendadak bisu, dan lagi-lagi menangislah jadi akhirnya. Itu adalah rindu yang terpendam. Berbeda dengan rindu, disaat orang itu justru ada, peka terhadap perasaanmu yang mendalam, peduli terhadap kau yang tergopoh-gopoh menopang dirimu, menjadi selimutmu dibadanmu yang dingin itu. Menjadi rumah untuk kau yang tersesat dalam memori itu. Bagaimana bila rindu itu tak berujung? Bahkan aku pun tak tahu cara mendeskripsikannya..... Orang itu.... Kenangan itu..... Menusukmu oleh katana yang tanpa sadar dia pegang dan ditusukkannya pada jantungmu, namun dengan segala usaha, kau tetap bernafas, mencari-cari asal katana itu. Aku lelah, sungguh. Aku juga tak tau mengapa aku segitu frustasinya. Padahal hanya masalah rindu. Tapi kau tahu, Rindu itu bisa jadi bumerang saat yang kau rindukan tak pernah mau tau dengan perasaanmu? Hanya duduk diam dengan muka datar menatap wajahmu yang nanar itu.
ADUH KEREN BGT INI. DAEBAK!
BalasHapus😘😘😘😘
Hapus