Sabtu, 23 Juli 2016

Pernah Ada

   Kalian tahu dan pasti mengerti, perasaan ingin mengulang kembali semua hal itu seperti apa. Ingin memperbaiki apa yang sudah dirusak, bahkan membuat hal yang indah menjadi lebih indah. Serakah. Egois. Penuh gairah. Kita akan berada di titik terbawah, seperti merosot di sebuah perosotan kecil, disaat badan kita bahkan lebih panjang dari ukuran perosotannya, tapi kita tetap memaksakan kehendak dan berakhir menyakiti diri sendiri, mencoba menutupinya dengan lelucon yang kita buat, tertawa hingga akhirnya menangis, meratapi nasib yang sungguh, mungkin akan mendapatkan piala oscar karena jalan ceritanya yang tak berujung dan penuh dengan drama yang memacu adrenalin para pemain maupun penontonnya.

  Aku disini ingin berbagi cerita, agak panjang, mungkin akan membuat kalian mengantuk. Itu pilihan mau melanjutkan apa tidak. Aku tidak pernah maksa, kan?

                                                               *******************

  Aku merasa kehilangan, dikhianati, rasanya seperti aku adalah orang terbodoh didunia ini. Aku bangun dengan mata sembabku, memulai hari dengan senyuman yang selalu aku lukiskan pada wajahku. Mulai memasang topeng lakonku, dengan tepat dan perlahan, takut akan jatuh dan semua kebohonganku akan ketawan dan membuatku mati kutu. Aku dikenal sebagai orang yang mudah akrab dengan seseorang, banyak yang suka aku karena kepribadianku ini, namun tak sedikit juga yang membenci, seperti sebuah pepatah, "Tuhan saja dibenci setan." Jadi, aku ini hanya ciptaanNya. Tak mungkin juga untuk kita memaksakan semua orang untuk menyukai kita, bisa saja, namun hasilnya aku akan ditusuk dari belakang.


  Aku mengenal banyak orang dan menjadi dekat dengan sangat mudah, namun kehilangan dengan cepat juga. Ada satu orang yang ingin aku ceritakan. Dia baik. Pintar. Lucu. Wajahnya, biasa saja tapi hatinya sangat indah. Ia selalu ingin menjaga hati setiap orang, semua yang dia lakukan terlihat berwibawa. Tak jarang aku meminta saran kepada dia, sering juga ia mengingatkanku untuk mengontrol kelakukanku, menjaga kesehatanku, dan memintaku jauh darinya, karena dia takut akan ada omongan tak enak bila orang tahu. Ditambah lagi, dia hanya ingin membantuku dan semua yang dia lakukan kepadaku selama ini hanyalah karena rasa tidak teganya, hati yang selembut surta miliknya itu memang agak sensitif.


  Aku memaksakan kehendak. Mencoba untuk memperbaiki keadaan. Melakukan apapun agar dia tidak pergi. Menceritakan apapun agar dia merasa bertanggung jawab terhadapku. Tapi yang kudapat justru cacimaki darinya, dia menjauh, melakukan semua hal yang ia bisa untuk menghilang dari pandangku. Tapi... Aku terus mencoba. Sampai akhirnya, aku sadar. Aku hanya terbawa suasana. Namun, aku salah. Aku memang tidak mau kehilangannya. Ia seperti tisu yang menghapus tangisku disaat tak ada jari yang akan mengusapkannya untukku, seperti bantal kesayanganku yang kujadikan tempatku menuang dan mengeluarkan tangisanku, disaat tak ada bahu yang bisa aku jadikan sandaran, dia benar-benar berharga, namun dia hanya melihatku sebelah mata. Memandangku bagai aku ini kuman, harus dijauhi dan dimusnahkan. Aku bukan mau memilikinya, tak pernah terbisit pikiran seperti itu, aku hanya sedih mengapa ia pergi dengan cara senaif itu? Memperlakukan aku tidak ada dan memerankan lakon antagonis yang sungguh, aku muak melihat itu.



  Maksudku adalah, jika kita memang ingin pergi. Katakanlah dengan baik-baik. Jelaskan dengan rinci, agar tidak ada hal yang ganjal di semua pihak. Setidaknya, kau pernah ada. Terimakasih Allah, atas nikmat yang pernah kau berikan kepadaku. Aku yakin, kau akan menggantikannya dengan seseorang yang lebih baik, yang lebih mengerti bagaimana mengucap selamat tinggal. Tak mungkin tanpa air mata atau luka yang ditinggalkan, pasti ada, dan memang sudah seharusnya begitu. Setidaknya, jangan pernah pergi dalam diam, karena diam memang emas, namun apakah yakin itu benar-benar emas? Bukan besi yang akan meninggalkan karat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar