Kamis, 26 Oktober 2017

Kenapa?

Terngiang-ngiang di kepala saya,

Kenapa?

Kenapa saya begitu lemah?
Tak tahu maksudnya apa,
Untuk konten yang seperti apa
Tapi saya sangatlah naif.

Saya lelah.
Lelah terus bertanya kepada diri saya sendiri
Lagi-lagi saya harus bergumam 'kenapa' tiap harinya
Saya bahkan tak tahu darimana letak pertanyaan itu berasal
Saya ragu untuk bahkan sekedar memikirkannya, apalagi menjawabnya
Sulit sekali, saya memilih hening
Maaf, tapi saya tidak tahu


Tapi.. Kenapa?
Masihkah terpikir untuk mencoba dengan seseorang yang bahkan tak bisa merumuskan jawaban untuk sekedar pertanyaan simpel?


Ini bukan puisi,
Tapi ini pertanyaan juga pernyataan saya

Kenapa, bung?

Kamis, 05 Oktober 2017

Angan , Lalu Paham Tertumbuk

Gagal. Semuanya pasti pernah merasa begitu. Harapan kadang memang jauh kenyataannya dengan realita yang harus kita hadapi.  Terkadang, saya pribadi merasa bingung.

“Untuk apa saya berharap?”

Pertanyaan itu kerap kali muncul dalam benak saya, terlebih apabila saya sedang merasa hancur. Merasa jadi manusia paling tidak berguna, yang hanya dapat membuat susah sekitar. Pikiran buruk terus menggerogoti sisi positif saya, bahkan dengan membabi butanya hingga membuat saya kehilangan kepercayaan dalam diri saya sendiri.

Menangis. Perilaku kekanak-kanakkan yang sering saya lakukan jika sedang berada dalam posisi terpuruk. Saya sering bertanya-tanya, bahkan kepada Allah, dalam doa dengan memohon petunjuk kepada-Nya agar diberi kemudahan, sehingga saya bisa dengan cepat menemukan jati diri. Saya sering merasa hilang jalan, kadang saya memaki diri sendiri karena saya terlalu pasrah mengikuti alur, namun saat saya sudah mencoba memberontak, selalu saja ada halangan. Entah karena pikiran negatif saya atau memang sudah jalannya begitu. Ironis sekali, kan?

Seperti sebuah peribahasa yang saya jadikan judul "Angin Lalu Paham Tertumbuk" dengan artian menghemat pikiran atau untuk tidak terlalu berpikir banyak bahwasannya memang dapat dilakukan, namun ketika setelah dijalani dan pada akhirnya ternyata tidak mudah atau tidak dapat direalisasikan, hal tersebut dapat membuat kita kehilangan akal. Mungkin kata-kata saya terdengan sangat dramatis bahkan tergambar jelas bahwa saya adalah orang yang melankolis. Menulis itu obat terbaik jikalau saya sedang memiliki konflik batin, dimana saya sendiri tak bisa mengungkapkannya melalui kata secara verbal namun sangat lancar jika harus saya tulis.

Namun, saya tahu bahwa memang seperti inilah hidup. Hal yang tidak mungkin jika saya akan selalu berjalan pada jalanan yang lurus, pasti akan selalu terdapat hambatan diantaranya. Merasa jatuh adalah fase saya untuk lebih dewasa lagi, Allah sedang menyiapkan saya untuk menjadi pasukan yang kuat, secara fisik dan mental. Pikiran positif tersebutlah yang membuat saya masih merasa hidup, disamping kehampaan yang saya sering rasakan, kejenuhan yang mengusik kehidupan saya.

Dekat dengan Sang Pencipta adalah solusi terbaik, mengapa?

Sejatinya kita merasa kosong karena diri kita jarang bercengkrama dengan-Nya, merasa hebat hingga lupa bersyukur, namun bila sedang diterpa masalah, barulah kita mengemis belas kasihan kepada-Nya. Berperilaku sebaik mungkin agar dapat ampun darinya.

Dahulu saya adalah anak yang sangat penurut, tak pernah sedikit pun membangkang, hidup saya sangatlah damai, hingga pada akhirnya perceraian kedua orang tua saya mengagetkan saya, yang saat itu masih duduk dibangku kelas 3 SD. Saya masih bingung dengan keadaan dimana saya dipaksa untuk hanya tinggal dengan salah satunya, kakak saya pun hanya berdiam diri, mencoba menerimanya, mengingat tak ada yang bisa kami lakukan karena kami berdua masih dibawah umur. Bisa dibilang itu merupakan salah satu kegagalan saya, namun bukan yang terberat. Kegagalan yang paling menghancurkan hati saya adalah bahwa saya membiarkan hal itu terjadi dan berpura-pura biasa saja sehingga justru banyak hati yang tersakiti namun saya mengacuhkan mereka. Saya sendiri sedang mencoba berjuang, saya pikir hidup dalam keluarga yang sudah tercerai-berai tidaklah sebuah masalah yang besar, meski banyak sekali orang yang kerap kali bertanya apakah saya baik-baik saya. Namun sebenarnya itulah akar masalahnya, sifat saya berubah sedikit demi sedikit, kearah yang terkadang bersifat negatif. Saya punya sifat tidak percaya diri dan terlalu mudah percaya pada siapapun sehingga seringkali mendapat perilaku yang seenaknya.

Maksud saya menceritakannya adalah memang benar, kegagalan itu menyakitkan. Namun jika hanya dengan menangis, takkan pernah ada masalah yang terselesaikan. Hanya ada luka yang terus membesar dan jika dibiarkan terlalu lama akan berubah menjadi lubang hitam, lalu pada akhirnya melahirkan kebencian, juga menjadi akar dari keburuksangkaan, bahkan pada Allah; Hilang sudah kepercayaan kepada-Nya.

Jangan sampai kita menjadi pribadi yang seperti itu. Bersedih hati itu bukanlah sebuah dosa, apalagi sebuah aib. Jangan pernah lupa untuk bersyukur dan mencintai diri sendiri.

Sepertinya cukup sampai disini dulu ya hehehe aku udh lama gak nulis jd basa-basi aja hehehe, maaf kalo makin menurun dan maaf lagi gak mood update soal cinta, karena saya sendiri sedang bingung hehehehe. Jangan lupa difollow!!

Minggu, 02 Juli 2017

Feeling Guilty

Semakin lama, aku semakin takut untuk mencinta.
Saat ada orang lain menunjukan perasaannya padaku, aku selalu mendorong mereka pergi, karena luka di masa lalu itu tak kunjung sembuh, masih membekas dan semakin terasa perih.

Aku takut justru rasa itu semakin memburuk jika aku membuka diri pada orang lain.

Aku hanya memfokuskan segalanya pada hal yang aku harus raih, seperti pendidikan. Cinta hanya aku ekspresikan kepada idolaku, keluargaku, temanku, sampai kepada diriku sendiri.

Sejatinya, sebelum kita mencintai seseorang, kita harus bisa mencintai diri sendiri dahulu. Menghargai perasaan sendiri, juga memperlakukan diri sendiri sebaik mungkin. Disaat iming-iming cinta hanya ditujukan kepada lawan jenis, seringkali kita lupa bahwa diri kita terbengkalai sendirian, tak ada yang memperhatikan, bahkan barang menengok sedikitpun tak pernah.

Jadi, mencintai diri sendiri itu adalah kewajiban yang selalu kita lupakan dan sesuatu yang harus kita lakukan mulai sekarang.

Kalian tahu kan rasa sakit yang tak kunjung hilang? Semakin kalian mencoba menyembuhkannya, semakin parah juga hasilnya. Aku mencoba tegar dan melakukan banyak hal namun selalu gagal. Hasilnya nihil.

... Dan sekarang, rasa sakit ini semakin membunuhku.

Sabtu, 11 Maret 2017

Coretan Kecil

Aku lelah berpura-pura.
Seolah hati ini sanggup, menanggung luka pedih ini seorang diri.
Diri ini bukan pahlawan super,
Bahkan seorang pahlawan pun akan tetap merasakan pilu dihatinya.
Hati ini bukan baja,
Mungkin memang terlihat kuat, namun sebenarnya rapuh.

Kau tersenyum seolah tak pernah ada yang terjadi,
Kau memandangku seolah tau aku rapuh, tapi tak berbuat apa-apa.
Kau mengetahuinya,
Rasa sakit yang kau timbulkan begitu dalam itu.
Keserakahanmu akan nafsu setan itu, kau menyadarinya.
Tapi kau hanya diam, seolah kau tak pernah mengingkari apapun.


Air mata tak pernah menyelesaikan semuanya,
Sebanyak apapun aku menangis, tak pernah menyudahi apapun.
Kau minta aku untuk berhenti,
Tapi kau pun tak pernah berusaha untuk menghentikannya.
Kau yang memulai, lantas mengapa harus aku yang menghentikannya?


Pernahkah sedetik pun, kau peduli dengan perasaan ini?
Perasaan yang dengan tak tahu malunya, kau renggut lalu kau buang entah dimana itu.
Perasaan yang kau buat melayang-layang, lalu kau lemparkan dengan sadisnya.
Perasaan yang hanya luka kau tinggalkan disitu,
Namun perasaan yang selalu merindukan sang perusak, meski hanya ada luka disitu.


Kau anggap aku mendramatisir,
Tapi dimana semua usahamu itu?
Usaha yang menbuat aku goyah awalnya.
Usaha yang hanya bualan semata.
Apakah semua itu telah hilang tertelan semua kebusukanmu?


Itu bukan cinta, tapi hanya nafsu semata.
Dan kau takkan pernah bisa memperbaiki semuanya,
Karena kau memang merusaknya dengan sengaja.


Terus saja, lakukan ini. Entah dengan sayatan atau langsung dengan tusukan.
Sakiti tanpa ampun. Lakukan semuanya semaumu.

Hanya jangan pernah lupa, semua yang kita tanam adalah yang kita tuai.