Disusun oleh:
Nabilla Tasya Firdinia (175120207121004)Balqis Fauzira Adawinsa Putri (175120207121017)
Natrisia Avisha (175120207121018)
Denaneer Bella Belinda (175120207121022)
Astuti Dila Wulandhari (175120207121024)
Menilik Lebih Dalam PTN-BH
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) adalah perguruan tinggi yang di kelola oleh pemerintahan dibawah Departemen Pendidikan Nasional dan departemen pemerintah lainnya. Indonesia telah memiliki 11 kampus yang telah terdaftar menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH), yaitu perguruan tinggi pemerintah yang yang berstatus sebagai badan hukum publik, diantaranya; Universitas Padjadjaran, Universitas Diponegoro, Universitas Hasanuddin, Institut Teknologi Sepuluh November, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gajah Mada, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Airlangga. Selain PTN-BH, terdapat juga PTN Badan Layanan Umum (PTN-BLU), yaitu perguruan tinggi yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya. Beberapa contoh PTN BLU, yakni Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, Universitas Sebelas Maret, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Jenderal Soedirman, dan perguruan tinggi lainnya yang tidak termasuk dalam PTN-BH.
Infografik : Wulandhari |
Perbedaan yang mendasar dari PTN-BH dan PTN-BLU, salah satunya terlihat dari segi penetapan status. Penetapan PTN-BH dilakukan dengan peraturan pemerintah, sedangkan penetapan PTN-BLU dilakukan dengan Keputusan Menteri Keuangan atas usul Menteri Ristek dan Dikti. Untuk keuangan dan layanan, Pendapatan BLU dilaporkan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sedangkan pendapatan PTN Badan Hukum bukan merupakan PNBP. Dari segi aset, aset BLU merupakan aset yang harus dikonsolidasikan dalam Barang Milik Negara (BMN), sedangkan aset yang diperoleh dari usaha PTN BH merupakan aset negara yang dipisahkan, dan aset berupa tanah yang berada dalam penguasaan PTN BH yang diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan barang milik negara. Sementara itu, tarif layanan BLU ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasar usulan pimpinan BLU dengan mempertimbangkan aspek kontinuitas dan pengembangan layanan, daya beli masyarakat, asas keadilan dan kepatutan, serta kompetisi yang sehat. PTN Badan Hukum menetapkan tarif biaya pendidikan berdasarkan pedoman teknis penetapan tarif yang ditetapkan menteri. Dalam penetapan tarif, PTN Badan Hukum wajib berkonsultasi dengan menteri. Tarif biaya pendidikan ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa. Selain itu, dari segi otonomi kampus, PTN-BH dapat mandiri dalam membuka dan menutup program studi yang ada di lembaganya, sedangkan PTN-BLU tidak bisa.
Berita ini bertujuan untuk menilik lebih dalam sebenarnya apa itu PTN-BH, apa kekurangannya, dan apa kelebihannya. Karena PTN-BH ini cukup banyak di protes oleh mahasiswa di berbagai universitas karena PTN-BH ini dianggap menjurus kepada ‘privativasi’ dan ‘komersialisasi’. Beberapa aksi dilakukan mahasiswa dengan upaya menolak komersialisasi tersebut, aksi yang dilakukan baru-baru ini adalah “Aksi 2 Mei” yang dilakukan mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) pada tanggal 2 Mei 2018 dengan tujuan untuk menolak PTN-BH UB dan menuntut pemberian transparansi informasi dari tim khusus PTN-BH UB. Mahasiswa UB menganggap bahwa PTN-BH akan mempersulit mahasiswa dalam pembayaran Uang Kuliah Tunggal atau biasa disingkat UKT. Akan tetapi di balik stereotip yang berada di kalangan masyarkat terutama mahasiswa di Indonesia, perlu kita ketahui lebih dalam mengenai PTN-BH itu sendiri.
Pertama kita perlu ketahui bahwa PTN-BH adalah perguruan tinggi negeri yang didirikan oleh pemerintah yang berstatus sebagai badan hukum publik yang otonom. Sejumlah PTN di Indonesia berbentuk BHNM (Badan Hukum MIlik Negara), empat perguruan tinggi pertama yang ditetapkan secara bersamaan sebagai BHMN pada tahun 2000 adalah Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, dan Institut Teknologi Bandung. Dengan menyandang status BHMN, perguruan tinggi tersebut memiliki otonomi penuh dalam mengatur anggaran rumah tangga dan keuangannya sendiri. Untuk menjadi PTN-BH harus melalui proses yang tidaklah mudah untuk menjadi kampus dengan status PTN-BH. Pemerintah menetapkan syarat yang sangat ketat bagi setiap perguruan tinggi negeri untuk mencapai status badan hukum, ini adalah beberapa pra-syarat yang harus dipenuhi mengurus menangani registrasi kemahasiswaan dan alumni yang ada, mata kuliah dan kurikulum, manajemen yang meliputi keterlibatan majelis amanat meliputi senat dan perwakilan mahasiswa, perolehan dan pendapatan, Administrasi Professional, yang meliputi tenaga memenuhi syarat, bentuk pelatihan keterampilan, bimbingan dari pemerintah, PTN berstatus Badan Hukum harus memiliki empat pondasi kuat yakni kerangka legal yang kuat, jaminan mutu, bangunan harus berstandar AISO, dan administrasi professional.
PTN-BH membebaskan institut untuk mengatur otonominya sendiri, dengan adanya hal tersebut menunjukan bahwasannya setiap PTN yang telah terdaftar berbadan hukum dibiarkan untuk mengatur bagian administrasi universitasnya sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah, mengingat negara hanya membiayai sebagian, oleh karena itu sering kali kendalanya adalah sistem keuangan di PTN-BH kurang transparan, seperti kesulitan dalam mengelola anggaran yang diberikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMENDIKBUD), sehingga serapan anggaran menjadi rendah dan sistem laporan keuangan yang diterapkan Kementerian Keuangan (KEMENKEU) cukup rumit dan tidak sesuai dengan kegiatan akademis. Selain itu, sistem yang dijalankan juga diserahkan kepada kebutuhan pasar dan kepentingan korporasi. Hakikat perguruan tinggi seharusnya dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi harus menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 menyebutkan bahwa Tridharma Perguruan Tinggi yang disebut Tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat bukan untuk niat korporasi. Namun pada akhirnya, segala hasil dan upaya yang dilakukan pihak universitas disesuaikan untuk permintaan pasar.
Bukan hanya itu, berdasarkan bunyi Pasal 83, sumber dana Pendidikan Tinggi berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), juga dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebagaimana juga yang terdapat dalam dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 yang menyatakan Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Namun karena PTN-BH telah diberikan kebebasan penuh, maka hanya akan mendapatkan anggaran yang sedikit. Oleh karena itu , maka PTN-BH harus mengikuti pasar.Konsekuensi lainnya adalah dengan berada dibawah label PTN-BH juga memaksa Universitas untuk selalu melakukan perubahan besar sehingga dapat terus bersaing untuk menjadi yang terbaik.
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (MENRISTEKDIKTI) Mohamad Nasir menuntut PTN-BH untuk dapat bersaing secara internasional di sela pertemuan 11 PTN-BH di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Rabu (4/4/2018) dilansir dari surabaya.tribunnews.com. Menurut pria berumur 57 tahun tersebut, jika tidak menata diri dengan baik, efisiensi tidak dilakukan dan kualitas tidak ditingkatkan, maka tidak akan mampu bersaing. Ia menyarankan agar pemborosan untuk tidak terjadi lagi, selain itu kualitas dosen pun harus selalu ditingkatkan. Karena telah diberikan kelonggaran, diharapkan PTN-BH juga dapat lebih baik lagi dalam berinovasi sehingga dapat terus berkembang, mengingat banyak PTA (Perguruan Tinggi Asing) yang akan didatangkan menurut wacananya.
Pro dan kontra telah lama terjadi, seperti yang telah diungkapkan Sadli Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universtas Andalas Padang, serta Ahli Hukum Yusril Ihza Mahendra selaku saksi ahli pemohon dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta pada Kamis (7/3/2013), 5 tahun lalu. Dilansir dari dukasi.kompas.com, Sidang yang menguji sejumlah pasal dalam Undang-Undang (UU) Pendidikan Tinggi (PT) itu dipimpin oleh Hakim Konstitusi yang bernama M. Alim dengan bahasan menitikberatkan keterangan dari saksi ahli dan saksi Pemberian status perguruan tinggi negeri badan hukum otonomi yang terdapat dalam UU No 12/2012 tentang pendidikan tinggi. PTN-BH dinilai sebagai upaya pemerintah untuk lepas tangan dari kewajibannya membiayai pendidikan karena diyakini sebagai bentuk komersialisasi pendidikan. Pria berumur 49 tahun tersebut menilai keberadaan PTN berbadan hukum tidak ada bedanya dengan menghidupkan kembali UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sudah dibatalkan MK. Menurutnya, PTN-BH ini substansinya memiliki kesamaan dengan UU BHP yang dimana menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memperjelas tanggung jawab negara dalam pendidikan sehingga pembuat UU berikutnya tidak akan salah dalam menempatkan peran negara atau pemerintah.
Yusril pun turut meragukan PTN-BH karena dianggap akan membebani keuangan mahasiswa. PTN BH yang praktiknya seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini harus mandiri dan berbisnis. Herry Suhardiyanto yang saat itu menjabat sebagai Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) dan selaku saksi pemerintah meyangkal anggapan adanya otonomi pendidikan karena mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Otonomi pendidikan yang diterapkan dianggap tidak membatasi akses pendidikan mahasiswa tidak mampu. Pernyataan Herry didukung oleh M. Syarifudin selaku mahasiswa Universitas Negeri Jakarta penerima beasiswa bidikmisi yang mengatakan bahwa tidak ada kesulitan untuk mahasiswa kurang mampu untuk berkuliah.
PTN-BH dapat begitu longgar dan fleksibel dalam menjalankan tugasnya sebagai Perguruan Tinggi, namun dibalik mendapatkan kewewenangan seperti ini kelonggaran tersebut dapat saja menjadi rawan, hal-hal berbau negatif seperti korupsi dapat terjadi. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) “kewenangan besar dengan akses pengolahan dana membuat para calon rektor melakukan suap untuk mendapatkan posisi tertinggi di universitas negeri. Seakan para petinggi kampus saling berebut jabatan tak segan melakukan tindakan yang tidak benar demi mendapatkan kursi jabatan.” Hal seperti ini lah yang membuat PTN-BH dipandang ke arah “privativasi” dan “komersial”, akan tetapi kampus Institut Teknologi Surabaya yang telah mengubahnya menjadi PTN-BH pada tahun 2017 membuktikan sebaliknya. Rektor ITS, Prof. Joni Hermana mengungkapkan bahwa 2 fakultas menjadi 4 fakultas. Sehingga dari 8 fakultas ITS kini mempunyai 10 fakultas. Ia mengatakan pemecahan 2 fakultas ini bertahap mulai dari tahapan kesiapan infrastruktur baik sarana, prasana, maupun SDM struktural yang baru. Di saat yang sama, ITS melakukan beberapa pelantikan pejabat unit kerja lainnya. Dosen dan guru besar ITS banyak yang masuk ke dalam organisasi profesi. Bahkan mereka akan membentuk Lamsama (Lembaga Akreditas Mandiri Sains dan Ilmu Formal). Hal ini membuktikan bahwa keberadaan PTN-BH juga membuktikan bahwa program studi sudah memiliki tenaga pengajar yang professional.
Berdasarkan penjabaran mengenai PTN-BH yang tertera di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa PTN yang berstatus sebagai PTN-BH lebih mudah untuk mengatur keuangan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya serta dapat memaksimalkan program-program dari kementrian seperti yang dikatakan oleh Rektor ITS, Prof. Joni Hermana kepada RISTEKDIKTI. Dalam konteks biaya pendidikan atau UKT, mahasiswa yang terdaftar dalam PTN-BH melewati seleksi dan pengumpulan bukti-bukti yang sangat ketat untuk menentukan UKT yang akan ditentukan oleh PTN yang bersangkutan, seperti yang dilakukan Universitas Indonesia pada saat daftar ulang. Hal ini membuat PTN-BH tidak selalu terarah kepada “privatisasi” atau “komersil” yang cenderung dikenal sebagai kampus yang biaya pendidikannya tinggi karena pada akhirnya semua tergantung kepada persepsi masing-masing, dari sudut pandang manakah kita melihatnya, mengingat pasti dalam suatu sistem akan selalu ada kekurangan maupun kelebihan. (zir/dna/nat/nab/wln)